Ibu, ingatkah dikau kapan terakhir kali ananda menangis dipangkuanmu? Tangan lembutmu mengusap kedua belah pipiku menghapus air mata yang mengalir deras, sedang tangisku terisak-isak tanpa henti. Bibirmu halus mengecup keningku, pertanda kasih sayangmu engkau limpahkan melalui kecupan itu. Kepalaku terasa berat menahan beban perihnya luka masa kecil dulu, sangat perih ketika ananda belum mengetahui apa-apa. Maka pundakmu lah satu-satunya sandaran yang tidak ada duanya. Ayah, dahulu ananda iri dengan kekuatanmu yang begitu perkasa mengais rezeki untuk ananda. Ananda selalu berkaca-kaca sebagai sebagai seorang lelaki saat itu, belum sekuat engkau. Ananda hanya bisa mengandalkan kewibawaanmu ketika ada teman sebaya menggodaku sampai nangis, lalu ananda bersembunyi dibalik punggungmu sampai teman sebayaku berlalu pergi. Ibu, semenjak beranjak remaja ananda mulai belajar hidup mandiri. Merasakan pahit manisnya merantau di lingkungan yang entah nantinya akan mendidik ananda ...