Ibu, ingatkah dikau kapan
terakhir kali ananda menangis dipangkuanmu? Tangan lembutmu mengusap kedua
belah pipiku menghapus air mata yang mengalir deras, sedang tangisku
terisak-isak tanpa henti. Bibirmu halus mengecup keningku, pertanda kasih
sayangmu engkau limpahkan melalui kecupan itu. Kepalaku terasa berat menahan
beban perihnya luka masa kecil dulu, sangat perih ketika ananda belum
mengetahui apa-apa. Maka pundakmu lah satu-satunya sandaran yang tidak ada duanya.
Ayah, dahulu ananda iri
dengan kekuatanmu yang begitu perkasa mengais rezeki untuk ananda. Ananda selalu
berkaca-kaca sebagai sebagai seorang lelaki saat itu, belum sekuat engkau. Ananda
hanya bisa mengandalkan kewibawaanmu ketika ada teman sebaya menggodaku sampai
nangis, lalu ananda bersembunyi dibalik punggungmu sampai teman sebayaku berlalu
pergi.
Ibu, semenjak beranjak remaja
ananda mulai belajar hidup mandiri. Merasakan pahit manisnya merantau di
lingkungan yang entah nantinya akan mendidik ananda atau malah menjerumuskan. Saat
itu, ananda selalu terbayang-bayang wajahmu. Seakan-akan engkau selalu
membayangi disetiap gerak-gerikku. “Pergilah nak, doa Ibu senantiasa
menyertaimu”.
Ayah, ternyata merantau bukan
hanya mengandalkan kekuatan fisik saja yang dibutuhkan tetapi juga kekuatan
mental. Di tempat rantau, ananda mulai belajar bagaimana mengayomi orang-orang
disekitar kita; terlebih orang yang kita cintai. Maka waktu itulah ananda
belajar untuk mencintai sekaligus memberikan rasa ketenangan.
Ibu, maafkan ananda ketika di
tempat rantau belum bisa menjalankan amanatmu: menuntut ilmu dengan
sungguh-sungguh. Maafkan ananda ketika harus membagi kasih sayangmu kepada
wanita lain. Labilnya anak remaja tentu ananda merasakan perasaan suka kepada
lawan jenis. Maafkan ananda yang telah lupa dengan tujuan awal merantau adalah
memperbaiki diri agar kelak cita-cita yang engkau dambakan dapat ananda
wujudkan.
Ayah, terus terang ananda
merasa bersalah ketika menyalahgunakan rezeki yang engkau perjuangkan
siang-malam hanya untuk masa depan putramu ini. Apalah yang sudah ananda
perbuat di tempat perantauan sungguh benar-benar tanpa sepengetauanmu. Bagaiman
ananda bisa tega tertawa riang di tempat perantauan sementara tubuhmu engkau
jadikan tumpuan di atas canda tawaku?.
Ayah dan Ibu, kini ketika
kedewasaan mulai tertanam di dalam sanubari putramu, alangkah naifnya diriku
saat mengetahui usiamu semakin hari semakin menua, namun ananda masih belum
bisa memberikan setetes air mata bahagia! Malahan sudah terlalu banyak air mata
kekecewaan yang tumpah karena putramu ini.
Ayah dan Ibu, yang aku ingat
sekarang raut wajahmu kian hari semakin berubah. Uban terlihat menghiasi
mahkotamu, suara yang dahulu tegar saat ini mulai melemah. Maka sebelum semua
terlambat, ananda hanya punya satu permohonan
“Ya Tuhan, Berkahilah selalu
kehidupan mereka”.
Komentar
Posting Komentar